Senin, 29 April 2024

Breaking News

  • Bupati Bengkalis Buka Secara Resmi Lokakarya 7 Program Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 9   ●   
  • MTQ Riau ke-42 Resmi di Tutup, Bengkalis Raih Peringkat Kedua Jadi Tuan Rumah MTQ Riau ke-43 Th 2025   ●   
  • Bupati Kasmarni Atas Nama Pemkab Bengkalis Ucapkan Selamat dan Tahniah HUT Kota Dumai ke-25   ●   
  • Wabup Husni Merza: Selamat dan Tahniah Kepada Semua Kafilah dan Official   ●   
  • Husni Merza; Pemkab Siak Dukung PSN Pada PTPN Group, Guna Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat   ●   
Dugaan Korupsi Bhakti Praja Pelalawan
Proses Hukum Dugaan korupsi Bhakti Praja Pelalawan tak Tuntas
Jumat 09 Januari 2015, 04:51 WIB
Poto Int Ilustrasi

PEKANBARU. Riaumadani. com - Sejumlah pihak menyayangkan proses hukum dugaan korupsi pengadaan lahan Bhakti Praja di Kabupaten  Pelalawan. Pasalnya, proses hukum terhadap pihak-pihak  yang diduga terkait masalah itu, terkesan tidak tuntas.

Sejauh ini, proses hukum dalam kasus itu seolah-olah  berhenti pada Marwan Ibrahim, yang saat ini masih  menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Sementara pihak lain, yang sering-sering disebut dalam proses persidangan, malah masih bebas berkeliaran bahkan menduduki posisi strategis di Pemkab Pelalawan, seperti Tengku Mukhlis.

Demikian diungkapkan Direktur Riau Corruption Watch [RCW] Mayandri Suzarman, Kamis [8/1/2015]. Dijelaskannya, penyebutan nama sejumlah pihak seperti halnya Tengku Mukhlis, tidak hanya muncul sekali.

"Penyidik harus menggunakan keterangan saksi-saksi untuk menarik pihak-pihak yang disebutkan sebagai tersangka.Karena pengembangan itu tidak hanya diperoleh dari penyelidikan dan penyidikan. Tapi proses persidangan pun bisa diperoleh fakta-fakta hukum tentang dugaan keterlibatan seseorang," ujar Mayandri.

Sementara itu, Sugiharto salah seorang praktisi hukum di Riau, menegaskan kalau fakta-fakta di persidangan itu tidak bisa ditutup begitu saja. Karena publik sudah cerdas dan mengetahui apa yang terjadi. Menurutnya, pemberantasantindak pidana korupsi jangan hanya dilakukan di permukaan saja.

Harus diberantas secara keseluruhan. Bila tidak, dikhawatirkan nasib bangsa tak akan pernah berubah. Sebab, tak ada efek jera bagi calon-calon pelaku lainnya. "Apalagi kalau dirinya pada saat terjadinya korupsi, berada di posisi bukan penentu kebijakan. Dirinya berpikir bisa menikmati uang hasil korupsi dan tidak akan tersentuh," tukas Sugiharto.

Selain penyidik dan jaksa, kata Sugiharto, pemberantaskorupsi juga harus dilakukan di lembaga peradilan. Untuk itu, dirinya meminta agar Kantor Penghubung Komisi Yudisial [KY] Provinsi Riau, untuk menempatkan orang-orangnya untuk memantau kinerja lembaga peradilan.

"Jangan sampai, terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Di mana putusan yang diberikan hakim tidak sesuai dengan harapan masyarakat," pungkasnya.

Sebelumnya, Syahrizal Hamid dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Pekanbaru menyatakan dirinya pernah bertemu Tengku Mukhlis pada pertengahan 2007. Ketika itu, Tengku Mukhlis menulis dalam sketsa rencana lahan yang isinya mengenai pembagian tanah Bhakti Praja seluas 110 hektare.

Sesuai dengan jabatannya sebagai Kabag Tata Pemerintahan Pelalawan, Mukhlis juga turut mengetahui pengadaan lahan itu pada tahun 2007. Saat itu, yang bersangkutan tidak pernah melakukan negosiasi harga dengan pemilik. Padahal itu merupakan tugasnya. Selain itu, fakta di persidangan juga masih menyebutkan peran Tengku Mukhlis yang lain.

Tak Patut
Sementara itu, proses persidangan lahan Bhakti Praja Pelalawan, terus digelar di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Dalam sidang yang digelar Rabu kemarin, JPU membacakan keterangan Hasan Latif, saksi ahli dari Kementerian Dalam Negeri [Kemendagri]. Hasan Latif menilai, terdakwa Marwan Ibrahim tidak patut menerima uang Rp1,5 miliar dari Al Azmi.

Hal tersebut, diduga berasal dari kegiatan pengadaan tanah perkantoran Bhakti Praja TA 2008 di mana lahan yang dibebaskan tersebut telah dibeli dan dikuasai Pemkab Pelalawan sejak tahun 2002. Biayanya berasal dari dana rutin yang disetujui terdakwa pada tahun 2002.

Pada tahun 2002, terdakwa menyetujui pengeluaran uang sebesar Rp500 juta. Kemudian pada tanggal 21 Mei 2002 terdakwa  menandatangani Surat Keputusan Otorisasi [SKO] Nomor : 119/R/2002 sebesar Rp1.924.305.100 sebagai atasan langsung Bendaharawan rutin yang didalamnya terdapat pos mata anggaran nomor 1059 untuk Pensertifikatan dan Pengamanan Tanah sebesar Rp500 juta.

Lalu, pada 24 Mei 2002, terdakwa menandatangani Kwitans Kas Nomor 679, sebagai Persetujuan dibayarnya uang sebesar Rp500 juta tersebut. Saksi ahli menilai, aksi bertentangan dengan PP Nomor 105 Tahun 2000 Pasal 1 angka 13, yangmenyebutkan Belanja Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.

Menanggapi hal itu, Marwan Ibrahim yang merupakan Wakil Bupati Pelalawan nonaktif, mengakui uang sebesar Rp500 juta yang disetujuinya memang tidak sesuai dengan nomenklatur. Namun, hal itu bisa diubah pada tahun anggaran berikutnya. "Itu ada diatur dalam peraturan perundang-undangan," jelasnya.

Sementara terkait penerimaan uang Rp1,5 miliar dari Al Azmi, Marwan Ibrahim membantahnya. Menurutnya, pada tahun 2008, dirinya menjadi staf ahli Gubernur. "Saya berani sumpah, apa pun sumpahnya. Saya tidak pernah datang ke kantor BPD (Badan Pertanahan Daerah,red) Pelalawan.

Apalagi menerima uang Rp1,5 miliar. Memang saya pernah diperlihatkan kwitansi, tapi saya merasa tidak pernah menekennya," pungkasnya.**




Editor : TAM-GR
Kategori : Pelalawan
Untuk saran dan pemberian informasi kepada katariau.com, silakan kontak ke email: redaksi riaumadain.com
Komentar Anda
Berita Terkait
 
 
Copyrights © 2022 All Rights Reserved by Riaumadani.com
Scroll to top