
NASIB MUSLIM UIGHUR
Muslim Uighur Teraniaya, di Mana Pemerintah Jokowi?
Muslim Uighur Teraniaya, di Mana Pemerintah Jokowi?
Jumat 21 Desember 2018, 23:14 WIB

JAKARTA. RIAUMADANI. com – Hari ini Jumat (21/12/2018), sejumlah massa menggelar Demonstrasi solidaritas untuk muslim Uighur di depan Kedubes China, Jakarta. Mereka membawa bendera tauhid hingga spanduk-spanduk yang bertuliskan dukungan bagi masyarakat muslim Uighur yang diduga mengalami diskriminasi di China.
Sebelumnya, seruan "Aksi Bersama Solidaritas untuk Muslim Uighur China" ini tersebar dalam poster digital yang beredar di media sosial dan aplikasi percakapan. Sejak Rabu (19/12) linimassa Twitter sudah dipenuhi tagar #UsirDubesCina yang mencapai lebih dari 8.000 kicauan hanya dalam beberapa jam. Para netizen mendesak agar pemerintah memulangkan duta besar Xiao Qian sebagai bentuk protes.
Seperti diberitakan media dalam dan luar ngeri, pemerintah China dalam beberapa tahun terakhir memberlakukan peraturan yang memberatkan muslim di kawasan Xinjiang. Warga muslim etnis Uighur dilarang beribadah bahkan mengucapkan kata Tuhan. Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, menyebut bahwa pemerintah Cina telah menahan hingga satu juta warga Uighur dalam kamp penahanan untuk menjalani program "reedukasi, atau "pendidikan ulang". Yakni, sebuah program indoktrinasi komunisme yang merupakan ideologi pemerintah China.
Sontak, berita ini menjadi sorotan publik dan menghidupkan kembali solidaritas di kalangan umat muslim di tanah air. Beberapa pihak seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Komunitas Relawan Sadar Indonesia (Korsa), Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), segera merespons isu internasional ini dengan mendesak pemerintah agar segera mengeluarkan langkah diplomatik.
Kubu oposisi pun tak mau ketinggalan panggung dalam menyikapi kasus ini. Hal ini diserukan oleh Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Taufan Rahmadi yang mendesak pemerintah Indonesia mengambil sikap tegas atas tindakan diskriminatif dan ketidakadilan yang diterima etnis minoritas Muslim Uighur di China.
Namun, hingga saat ini belum ada pernyataan atau sikap resmi dari pemerintah Indonesia terkait pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur di Xinjiang, Cina. Padahal sejumlah negara seperti Amerika Serikat (AS), Jerman, Jepang, Prancis, Islandia, Kanada, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah meminta pemerintah Cina menghentikan kekerasan terhadap etnis muslim Uighur. Bahkan, Presiden AS Donald Trump menimbang hukuman bidang ekonomi kepada Cina karena pelanggaran HAM. Sejalan, parlemen AS juga telah menerbitkan undang-undang untuk memberi sanksi Cina.
Muslim Uighur dipaksa masuk kamp tahanan
Dalam konteks politik luar negeri, isu transnasional yang menyangkut Islam dan umat muslim bahkan telah ditempatkan sebagai jantung dari misi diplomatik Indonesia. Hal ini diungkapkan secara langsung oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, pada pertengahan tahun 2017 lalu ketika isu pengakuan AS terhadap Jerussalem sebagai ibu kota Israel mendapat kecaman dari berbagai negara muslim di dunia.
Kala itu, Presiden Jokowi dengan sigap melakukan sejumlah langkah di antaranya meminta Menlu memanggil Dubes AS untuk RI agar menyampaikan pernyataan sikap pemerintah kepada Pemerintah Amerika dan langsung berkomunikasi dengan negara-negara yang tergabung di OKI, hingga meminta PBB untuk bersidang.
Bahkan, keputusan pemindahan kedutaan besar Australia di Tel Aviv ke Jerusalem Barat baru-baru ini juga direspons dengan kecaman oleh pemerintah Indonesia dan sempat menimbulkan ketegangan hubungan diplomatik, terutama terancamnya kesepakatan ekonomi di antara dua negara tetangga ini.
Begitu pula kasus Rohingya, Indonesia sangat berperan aktif dalam penyelesaian konflik. Melalui Menlu Retno, pemerintah Indonesia juga mengirimkan berbagai bantuan kemanusiaan baik berupa logistik maupun relawan demi membantu proses resolusi konflik di salah satu Negara anggota ASEAN tersebut.
Kini, pemerintah menghadapi tantangan baru yang berpotensi membangkitkan solidaritas umat muslim Indonesia, ketika etnis Uighur kembali menjadi sorotan dunia internasional setelah pemerintah Tiongkok diisukan menahan satu juta suku minoritas tersebut di kamp penahanan.
Lantas mengapa pemerintahan Jokowi kini tak mengambil tindakan serupa dan terkesan tak sigap dalam merespons isu ini sama seperti isu-isu yang menyangkut muslim lainnya?
Muslim Uighur dan Dilema Presiden Jokowi
Banyak pengamat politik internasional menyebut bahwa ketergantungan ekonomi dan investasi Indonesia terhadap Cina menjadi batu sandungan bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah politik terhadap isu ini. Tentu Jokowi dalam konteks ini tak ingin ambil resiko untuk merusak kemitraan strategisnya dengan Cina yang telah terjalin cukup kompleks selama ini terutama di bidang ekonomi.
Investasi Cina saja kini mencapai angka US$ 1.01 miliar dan menjadi investor terbesar ketiga di Indonesia setelah sebelumnya hanya menempati peringkat ke-10. Bahkan kini mengalahkan nilai investasi Amerika Serikat dan Korea Selatan.
Namun di sisi lain, kebijakan realis Jokowi ini memunculkan konsekuensi politik domestik yang cukup berpotensi membahayakan posisinya sebagai calon Presiden dalam Pilpres 2019. Bukan tidak mungkin bahwa absennya pemerintah mengambil sikap terkait isu Uighur ini akan menjadi jebakan dilematis bagi sang petahana. Seperti kasus-kasus yang menyangkut muslim lain, isu pembantaian muslim di Uighur ini menjadi amat sensitif dalam politik nasional, terutama menjelang Pilpres 2019.
Dalam konteks isu Palestina misalnya, reporter kantor berita ABC Australia, Tom Iggulde, menyebut suara kelompok agamis Indonesia dalam Pemilu 2019 menjadi sangat penting untuk Jokowi. Fakta tersebut diperkuat berdasarkan hasil riset Indonesia Indicator (I2), yang dilakukan sepanjang tanggal 6-10 Desember 2017: bahwa isu Palestina telah menyatukan netizen di Indonesia dan cenderung memberikan apresiasi kepada pemerintahan Jokowi.
Maka, bisa jadi absennya pemerintah dalam merespons kasus muslim Uighur ini dapat menjadi petaka bagi elektabilitas Jokowi. Terlebih, Jusuf Kalla atau JK selaku wakil presiden RI telah menegaskan tak bisa mencampuri urusan dalam negeri Cina.
Di pihak lain, isu ini akan berpotensi dikapitalisasi oleh kubu oposisi untuk menyerang kubu petahana. Terlebih pemerintah terkesan memiliki standar ganda terkait sikapnya dengan beberapa isu penindasan muslim lainnya. Selain itu, persepsi Jokowi tidak pro-Islam, bisa jadi semakin menguat.
Demonstrasi 2112 sebagai solidaritas untuk muslim Uighur di depan Kedubes China, Jakarta
Pada akhirnya, Jokowi terjebak dalam pilihan dilematis: tidak mencampuri Pemerintah Cina terkait muslim Uighur agar tidak membahayakan hubungan baik dan investasi Cina di Indonesia, atau proaktif meminta diksriminasi muslim Uighar dihentikan guna keuntungan elektoral di mata umat Islam tetapi dengan risiko kehilangan keuntungan dari Cina?
Lepas dari pilihan itu, amanat UUD bahwa Indonesia harus berperan serta dalam ketertiban dunia, sesungguhnya yang harus menjadi pijakan Jokowi. Demi amanat konstitusi dan atas nama negara, Jokowi seharusnya meletakkan kepentingan kemanusiaan di atas kepentingan pribadi dan politik elektoral. Di titik ini, pemerintah Jokowi harus berani mengambil sikap tegas agar pemerintah Cina menghentikan diskriminasi dan 'penahanan' terhadap muslim Uighur.
Jika tidak, Presiden Jokowi sungguh terlalu.[]
Sumber Nusantara.news
Sebelumnya, seruan "Aksi Bersama Solidaritas untuk Muslim Uighur China" ini tersebar dalam poster digital yang beredar di media sosial dan aplikasi percakapan. Sejak Rabu (19/12) linimassa Twitter sudah dipenuhi tagar #UsirDubesCina yang mencapai lebih dari 8.000 kicauan hanya dalam beberapa jam. Para netizen mendesak agar pemerintah memulangkan duta besar Xiao Qian sebagai bentuk protes.
Seperti diberitakan media dalam dan luar ngeri, pemerintah China dalam beberapa tahun terakhir memberlakukan peraturan yang memberatkan muslim di kawasan Xinjiang. Warga muslim etnis Uighur dilarang beribadah bahkan mengucapkan kata Tuhan. Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, menyebut bahwa pemerintah Cina telah menahan hingga satu juta warga Uighur dalam kamp penahanan untuk menjalani program "reedukasi, atau "pendidikan ulang". Yakni, sebuah program indoktrinasi komunisme yang merupakan ideologi pemerintah China.
Sontak, berita ini menjadi sorotan publik dan menghidupkan kembali solidaritas di kalangan umat muslim di tanah air. Beberapa pihak seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Komunitas Relawan Sadar Indonesia (Korsa), Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), segera merespons isu internasional ini dengan mendesak pemerintah agar segera mengeluarkan langkah diplomatik.
Kubu oposisi pun tak mau ketinggalan panggung dalam menyikapi kasus ini. Hal ini diserukan oleh Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Taufan Rahmadi yang mendesak pemerintah Indonesia mengambil sikap tegas atas tindakan diskriminatif dan ketidakadilan yang diterima etnis minoritas Muslim Uighur di China.
Namun, hingga saat ini belum ada pernyataan atau sikap resmi dari pemerintah Indonesia terkait pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur di Xinjiang, Cina. Padahal sejumlah negara seperti Amerika Serikat (AS), Jerman, Jepang, Prancis, Islandia, Kanada, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah meminta pemerintah Cina menghentikan kekerasan terhadap etnis muslim Uighur. Bahkan, Presiden AS Donald Trump menimbang hukuman bidang ekonomi kepada Cina karena pelanggaran HAM. Sejalan, parlemen AS juga telah menerbitkan undang-undang untuk memberi sanksi Cina.
Sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, memiliki hubungan baik dengan Cina, serta kedekatan Presiden Jokowi dengan Presiden Cina Xi Jinping, suara Indonesia semestinya mampu menekan pemerintah Cina agar menghentikan tindakan diskriminatif tersebut. Terlebih jika mengacu pada tujuan bernegara dalam konstitusi RI yang salah satunya 'ikut serta dalam ketertiban dunia', sudah sepantasnya pemerintah Jokowi untuk lebih proaktif.
Dalam konteks politik luar negeri, isu transnasional yang menyangkut Islam dan umat muslim bahkan telah ditempatkan sebagai jantung dari misi diplomatik Indonesia. Hal ini diungkapkan secara langsung oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, pada pertengahan tahun 2017 lalu ketika isu pengakuan AS terhadap Jerussalem sebagai ibu kota Israel mendapat kecaman dari berbagai negara muslim di dunia.
Kala itu, Presiden Jokowi dengan sigap melakukan sejumlah langkah di antaranya meminta Menlu memanggil Dubes AS untuk RI agar menyampaikan pernyataan sikap pemerintah kepada Pemerintah Amerika dan langsung berkomunikasi dengan negara-negara yang tergabung di OKI, hingga meminta PBB untuk bersidang.
Bahkan, keputusan pemindahan kedutaan besar Australia di Tel Aviv ke Jerusalem Barat baru-baru ini juga direspons dengan kecaman oleh pemerintah Indonesia dan sempat menimbulkan ketegangan hubungan diplomatik, terutama terancamnya kesepakatan ekonomi di antara dua negara tetangga ini.
Begitu pula kasus Rohingya, Indonesia sangat berperan aktif dalam penyelesaian konflik. Melalui Menlu Retno, pemerintah Indonesia juga mengirimkan berbagai bantuan kemanusiaan baik berupa logistik maupun relawan demi membantu proses resolusi konflik di salah satu Negara anggota ASEAN tersebut.
Kini, pemerintah menghadapi tantangan baru yang berpotensi membangkitkan solidaritas umat muslim Indonesia, ketika etnis Uighur kembali menjadi sorotan dunia internasional setelah pemerintah Tiongkok diisukan menahan satu juta suku minoritas tersebut di kamp penahanan.
Lantas mengapa pemerintahan Jokowi kini tak mengambil tindakan serupa dan terkesan tak sigap dalam merespons isu ini sama seperti isu-isu yang menyangkut muslim lainnya?
Muslim Uighur dan Dilema Presiden Jokowi
Banyak pengamat politik internasional menyebut bahwa ketergantungan ekonomi dan investasi Indonesia terhadap Cina menjadi batu sandungan bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah politik terhadap isu ini. Tentu Jokowi dalam konteks ini tak ingin ambil resiko untuk merusak kemitraan strategisnya dengan Cina yang telah terjalin cukup kompleks selama ini terutama di bidang ekonomi.
Investasi Cina saja kini mencapai angka US$ 1.01 miliar dan menjadi investor terbesar ketiga di Indonesia setelah sebelumnya hanya menempati peringkat ke-10. Bahkan kini mengalahkan nilai investasi Amerika Serikat dan Korea Selatan.
Namun di sisi lain, kebijakan realis Jokowi ini memunculkan konsekuensi politik domestik yang cukup berpotensi membahayakan posisinya sebagai calon Presiden dalam Pilpres 2019. Bukan tidak mungkin bahwa absennya pemerintah mengambil sikap terkait isu Uighur ini akan menjadi jebakan dilematis bagi sang petahana. Seperti kasus-kasus yang menyangkut muslim lain, isu pembantaian muslim di Uighur ini menjadi amat sensitif dalam politik nasional, terutama menjelang Pilpres 2019.
Dalam konteks isu Palestina misalnya, reporter kantor berita ABC Australia, Tom Iggulde, menyebut suara kelompok agamis Indonesia dalam Pemilu 2019 menjadi sangat penting untuk Jokowi. Fakta tersebut diperkuat berdasarkan hasil riset Indonesia Indicator (I2), yang dilakukan sepanjang tanggal 6-10 Desember 2017: bahwa isu Palestina telah menyatukan netizen di Indonesia dan cenderung memberikan apresiasi kepada pemerintahan Jokowi.
Maka, bisa jadi absennya pemerintah dalam merespons kasus muslim Uighur ini dapat menjadi petaka bagi elektabilitas Jokowi. Terlebih, Jusuf Kalla atau JK selaku wakil presiden RI telah menegaskan tak bisa mencampuri urusan dalam negeri Cina.
Di pihak lain, isu ini akan berpotensi dikapitalisasi oleh kubu oposisi untuk menyerang kubu petahana. Terlebih pemerintah terkesan memiliki standar ganda terkait sikapnya dengan beberapa isu penindasan muslim lainnya. Selain itu, persepsi Jokowi tidak pro-Islam, bisa jadi semakin menguat.
Demonstrasi 2112 sebagai solidaritas untuk muslim Uighur di depan Kedubes China, Jakarta
Pada akhirnya, Jokowi terjebak dalam pilihan dilematis: tidak mencampuri Pemerintah Cina terkait muslim Uighur agar tidak membahayakan hubungan baik dan investasi Cina di Indonesia, atau proaktif meminta diksriminasi muslim Uighar dihentikan guna keuntungan elektoral di mata umat Islam tetapi dengan risiko kehilangan keuntungan dari Cina?
Lepas dari pilihan itu, amanat UUD bahwa Indonesia harus berperan serta dalam ketertiban dunia, sesungguhnya yang harus menjadi pijakan Jokowi. Demi amanat konstitusi dan atas nama negara, Jokowi seharusnya meletakkan kepentingan kemanusiaan di atas kepentingan pribadi dan politik elektoral. Di titik ini, pemerintah Jokowi harus berani mengambil sikap tegas agar pemerintah Cina menghentikan diskriminasi dan 'penahanan' terhadap muslim Uighur.
Jika tidak, Presiden Jokowi sungguh terlalu.[]
Sumber Nusantara.news
Editor | : | Tis/Rls |
Kategori | : | Nasional |
Untuk saran dan pemberian informasi kepada katariau.com, silakan kontak ke email: redaksi riaumadain.com
Komentar Anda
Berita Terkait
Berita Pilihan
Internasional

Minggu 07 September 2025, 20:18 WIB
Timnas Indonesia U-23 Wajib Kalahkan Korea Selatan Untuk lolos ke Putaran Final Piala Asia U-23 2025
Rabu 09 Juli 2025
PKB Gelar Puncak Harlah 23 Juli, Undang Prabowo hingga Ketum Partai
Rabu 11 Juni 2025
Arab Saudi Tegur Indonesia soal Data Kesehatan Jemaah, Kuota Haji 2026 Terancam Dipotong
Kamis 08 Mei 2025
"Jelang Kedatangan Jemaah, Petugas Siapkan Layanan di Makkah"
Politik

Rabu 27 Agustus 2025, 22:19 WIB
Kejari Rohul Tahan LA Kepsek dan R Bendahara SMAN 1 Ujung Batu
Senin 25 Agustus 2025
Silaturahmi Akbar jamaah haji Rokan Hulu tahun 2025, Bupati Anton : jadikan sebagai wadah mempererat ukhuwah islamiah
Minggu 24 Agustus 2025
Bupati Bengkalis Resmikan Gedung Futsal dan Turnamen Kenji Cup I 2025.
Sabtu 16 Agustus 2025
Camat Sungai Apit Lepaskan 32 Regu Peserta Lomba Gerak Jalan, Dalam Rangka HUT RI yang Ke-80 Tahun 2025
Nasional

Rabu 24 September 2025, 18:46 WIB
Lintas Tengah Rusak, Elemen Masyarakat Sepakat, Truck Angkutan Batu Bara Bangun Jalan Alternatif
Rabu 24 September 2025
Lintas Tengah Rusak, Elemen Masyarakat Sepakat, Truck Angkutan Batu Bara Bangun Jalan Alternatif
Rabu 24 September 2025
Siti Aisyah Anggota MPR RI Fraksi PDI-P A-164 Sosialisasi 4 Pilar di Kampung Seberang, Rengat, Inhu, Riau
Selasa 23 September 2025
Abdul Azis & Wandri Sahputra Simbolon Protes Relokasi Serta Ketidakjelasan Status Lahan
Terpopuler
01
Minggu 07 Agustus 2016, 07:47 WIB
Ribuan Personel Keamanan Diterjunkan Kawal Kirab Api PON 2016 Selama 11 Har 02
Rabu 17 September 2014, 02:20 WIB
Pemkab Pelalawan Kembangkan Pembibitan Ikan Secara Modern 03
Sabtu 25 April 2015, 04:51 WIB
10 Pejabat Kedubes Asing Dipanggil ke Nusakambangan 04
Selasa 09 Februari 2016, 01:21 WIB
LSM Laporkan Satker SNVT.Dedi dan PPK, Rukun dan Irzami Ke KPK 05
Rabu 25 Juni 2014, 05:20 WIB
Capres-Cawapres Prabowo-Hatta Klarifikasi Harta ke KPK 


Pekanbaru

Rabu 01 Oktober 2025, 23:02 WIB
Dua Pelaku Pengoplos Gas LPG Bersubsidi Dibekuk Tim Ditreskrimsus Polda Riau
Rabu 01 Oktober 2025
Dua Pelaku Pengoplos Gas LPG Bersubsidi Dibekuk Tim Ditreskrimsus Polda Riau
Rabu 01 Oktober 2025
Video Viral di Mal Pekanbaru, Dr. Jeri Klarifikasi Ungkap Fakta Pernikahannya dengan Novi
Senin 11 Agustus 2025
Peringati HUT ke-13 IWO, Muridi Susandi: Jurnalisme Bukan Hanya Tentang Berita, Tapi Senjata Perubahan