Minggu, 5 Mei 2024

Breaking News

  • Tanggapi Keluhan Masyarakat Dalam Kegiatan Jumat Curhat, Polres Siak Datangkan Mobil SIM Keliling   ●   
  • Bupati Kasmarni: Tahniah Kepada Septian dan M Alga atas Penghargaan Suara Pileg Terbanyak se-Riau   ●   
  • TAUFIK HIDAYAT KETUA MPC, PP, INHU, BALON BUPATI, RESMI DAFTAR KE PARTAI NASDEM   ●   
  • Usai Dipugar, Bupati Kasmarni Resmikan Kelenteng Tri Dharma Hun Bin Kuan Siak Kecil   ●   
  • Majukan Pertanian di Meranti, Plt Bupati Asmar Temui Wamen Pertanian Harvick Hasnul Qalbi.   ●   
OPINI
Pasar Pilkada
Minggu 24 Juni 2018, 03:55 WIB
Agusyanto Bakar, SSos.,MSi
MERANTI. RIAUMADANI. com - Paling tidak ada 171 daerah di Indonesia yang akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 27 Juni 2018 ini. Ini merupakan ajang Pilkada serentak yang lebih besar kuantitasnya dari pada tahun-tahun sebelumnya.

Dari 171 daerah tersebut terdiri dari 39 Kota, 115 Kabupaten dan 17 Provinsi. Salah satu dari 17 Provinsi tersebut adalah Provinsi Riau yang diikuti oleh 4 (Empat) Pasangan Calon (Paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur : Syamsuar-Edy Natar Nasution, Lukman Edy-Hardianto, Firdaus-Rusli Efendi dan Arsyadjuliandi Rachman-Suyatno.

Berbicara tentang pelaksanaan Pilkada, satu hal yang cukup menarik akan di temui adalah ketika kita bersentuhan dengan urusan pemilih. Di katakan demikian, karena persoalan Pilkada bukan sekedar urusan Paslon dalam memaparkan visi, misi dan program kerjanya. Tetapi juga, bagaimana teknis-strategis Paslon dalam memperebutkan, mempengaruhi dan mengintervensi pasar pemilih. Kenapa di sebut pasar pemilih?

Tentu pasar yang di maksud dalam tulisan ini semacam ilustrasi dengan alasan karena pasar meminjam Goenawan Mohammad, merefleksikan sebuah drama zaman : Kata itu bukan lagi sekedar menunjukkan suatu tempat berjual beli. Namun sudah identik dengan kegiatan jual beli itu sendiri yang melintasi letak, melampaui batas, bahkan ia menciptakan energi ajaib.

Pasar bisa meruntuhkan pelbagai hal sekaligus menumbuhkan pelbagai hal. Melalui pasar Pilkada inilah, para Paslon mengerahkan bahkan mengarahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menumbuhkan simpati dan memenangkan hati para pemilih melalui "barang dagangan" yang di tawarkannya.

Para Paslon pada umumnya, berlomba-lomba dan berupaya mengakomodasi aneka problematika yang di hadapi para pemilih. Dalam konteks ini tentu kemasan terhadap ‘barang dagangan’ yang di tawarkan menjadi penting, karena akan mendongkrak pencitraan diri penjual. Sebab, penjual tidak saja dilatih dan dituntut untuk memahami dan mengerti keinginan dan kebutuhan pembeli, tetapi juga harus bisa menawarkan barang-barang yang berkualitas, tidak kadaluarsa yang diikuti dengan pelayanan prima kepada para pembeli setianya. Sebaliknya, para pembeli harus bisa tampil menjadi pembeli yang cerdas.

Pertama, perlu di bangun sikap kritis dalam menilai track record Paslon sebagai penjual dan mengevaluasi ‘barang dagangan’ Paslon melalui visi, misi dan program kerja yang di tawarkannya.Paslon mana yang lebih menunjukkan kepeduliannya."Barang dagangan" Paslon mana yang lebih mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan konkrit para pembeli. Lalu, bagaimana realisasi dari ‘barang dagangan’ yang di tawarkan dan parameter apa yang di gunakan untuk mengukur keberhasilannya.

Kedua, para pembeli harus bisa tampil kritis dan aktif-artikulatif tidak saja pra-pemilihan, tapi juga pasca pemilihan nantinya untuk menagih janji dari ‘barang dagangan’ dengan kualitas baik yang diikuti komitmen akan pelayanan prima kepada pembeli yang di tawarkannya (Paslon) selama masa kampanye berlangsung. Hal ini tentu harus diikuti dengan intensitas pengawasan, kontrol dan evaluasi yang baik, termasuk menyangkut kinerja dan pengelolaan anggaran agar tidak keluar dari prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi. Ketiga, mungkin di pandang perlu mengintensifkan pendidikan politik bagi pemilih (Voter Education), agar menghasilkan pemilih-pemilih yang cerdas yang tidak terkecoh oleh teknis-strategis pemasaran yang di sampaikan oleh para penjual.       
   
Oleh karenanya, dengan menggunakan analogi pasar dalam konteks Pilkada ini, maka pada akhirnya pasar Pilkada sejatinya merupakan pasar yang dinamis : Tempat penjual (baca : Paslon Kepala Daerah) dan pembeli (kita-kita para pemilih) sama-sama ingin meraih keutungan. Keuntungan ini akan berubah menjadi buntung, bila para pemilih terkecoh semata  oleh kemasan  yang di tawarkan penjual dan ketika kita sebagai pembeli bersikap apatis terhadap track record dan ‘barang dagangan’ (visi, misi dan program kerja) yang di tawarkan Paslon sebagai penjual. Sebab, karena kita bersikap apatislah, maka pemerintah otoriter pernah muncul begitu lama di Indonesia. Karena bersikap apatis pula, maka begitu banyak korban pembangunan ekonomi dan politik sebagai konsekuensi tidak terkontrolnya kekuasaan politik pemerintah oleh rakyat.    

Dengan demikian, maka jangan Golput dan gunakan hak politik kita dengan sebaik-baiknya : Jangan tukarkan kedaulatan yang kita miliki dengan sejumlah uang maupun sembako untuk mempengaruhi pilihan kita  pada hari "H" pencoblosan (27 Juni 2018). Ingat! Lima menit di balik bilik suara, menentukan lima tahun nasib kita ke depan. Ini bermakna, arah perjalanan Riau kedepan sangat di tentukan oleh suara rakyat pemilih di balik bilik suara : Vox Populi, Vox Dei, demikian sebuah adigium politik berujar. 

Oleh : Agusyanto Bakar, SSos.,MSi
Berdomosili di Kabupaten Meranti



Editor : Tis-rls
Kategori : Politik
Untuk saran dan pemberian informasi kepada katariau.com, silakan kontak ke email: redaksi riaumadain.com
Komentar Anda
Berita Terkait
 
 
Copyrights © 2022 All Rights Reserved by Riaumadani.com
Scroll to top