Kamis, 2 Oktober 2025

Breaking News

  • Pembukaan Bulan PRB 2025 di Mojokerto, Bupati Rohul : Bulan PRB Momentum Perkuat Sinergi Mitigasi Bencana   ●   
  • Ini Tanggapan Pemerintah Kabupaten Bengkalis Terkait Pj. Kepala Desa   ●   
  • Ledakan Guncang Kilang Pertamina Dumai, Warga Panik   ●   
  • Dua Pelaku Pengoplos Gas LPG Bersubsidi Dibekuk Tim Ditreskrimsus Polda Riau   ●   
  • Dua Warga Desa Teluk Lancar Tewas Disambar Petir Saat Mencari Kepah di Pantai Parit Panjang   ●   
EKSEKUSI MATI TAHAP III
Bebebrapa LSM Klaim Eksekusi Mati Terpidana Narkoba Berpotensi Timbulkan Masalah Hukum
Senin 01 Agustus 2016, 08:22 WIB
KONFERENSI PERS: Sejumlah LSM menggelar konferensi pers soal eksekusi mati tahap ketiga di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta, Ahad (31/7/2016).
Berita Terkait

JAKARTA. Riaumadani. com - Eksekusi mati tahap ketiga diprediksi akan menimbulkan masalah hukum. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menemukan adanya indikasi Kejaksaan Agung (Kejagung) menabrak undang-undang. Di antaranya, notifikasi atau pemberitahuan eksekusi mati yang hanya 68 jam dan terpidana mati belum mendapatkan surat penolakan grasi.

Sejumlah LSM yang menemukan indikasi pelanggaran itu di antaranya Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Masyarakat, Imparsial, Elsam, KontraS, Mappi FH UI dan Migrant Care.

Dalam konferensi pers di kantor YLBHI kemarin, Staf Divisi Hak Sipil dan Politik KontraS Putri Kanesia menjelaskan dalam pasal 7 UU Nomor 2/2002 jo UU Nomor 5/2010 tentang grasi memang disebutkan bahwa terpidana mati grasinya dianggap kedaluwarsa bila melewati setahun setelah berkekuatan hukum tetap.

''Tapi, Kejagung lupa bahwa ada pasal 13,'' paparnya.

Pasal 13 itu menyebutkan bahwa bagi terpidana mati atau keluarga terpidana mati yang mengajukan grasi tidak dapat dilakukan eksekusi, sebelum keputusan Presiden tentang penolakan grasi diterima terpidana.  ''Saat eksekusi itu, hampir semua terpidana belum menerima surat penolakan grasi,'' tuturnya.

Sementara Peneliti ICJR Eramus Napitupulu menuturkan bahwa pelanggaran lain berupa pemberitahuan hanya 68 jam juga terjadi. Kalau dari informasi yang dihimpun dari rohaniawan, notifikasi diterima terpidana mati pada Selasa pukul 15.30, namun, eksekusi mati dilakukan Jumat pukul 00.45. ''Bila dihitung maka hanya 68 jam dari waktu eksekusi mati,'' terangnya.

Padahal, dalam UU nomor 2/ PNPS/1964 disebutkan bahwa eksekusi mati harus diberitahukan pada terpidana mati minimal tiga hari atau 72 jam sebelum eksekusi.
''Ketentuan-ketentuan itu dilanggar semua,'' paparnya.

Putri Kanesia menambahkan belum lagi dengan hak dari keluarga terpidana mati. Yang ternyata, datang saat eksekusi dan harus kembali tanpa mengetahui keluarganya itu telah dieksekusi atau tidak.

''Keluarga berhak mengetahui informasi seperti itu,'' ujarnya.

Putri menyebut bahwa dengan semua pelanggaran itu, maka seharusnya ada sanksi yang diberlakukan pada Kejagung. Tentunya, Presiden Jokowi harus turun tangan untuk menangani masalah itu. ''Janganlah main-main dengan nyawa seseorang,'' paparnya.

Yang lebih aneh lagi, bila memang pemerintah ingin menangani kasus narkotika, ternyata anggaran pengobatan untuk terpidana kasus narkotika di Lapas Cipinang itu tidak ada. Padahal, 60 persen penghuninya adalah napi narkotika.  ''Artinya, mereka sama sekali tidak diobati,'' ujar peneliti YLBHI Yulianus Ibrani.

Dia mengatakan, dengan begitu, pemerintah hanya menginginkan napi narkotika itu dihukum. Hal tersebut tentunya menunjukkan bahwa pemberantasan narkotika itu sama sekali tidak serius.

''Ya, pemerintah hanya condong untuk menghukum,'' tegasnya.

Sementara Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung M Rum belum bisa dikonfirmasi terkait masalah tersebut. Saat dihubungi sama sekali tidak memberikan respons dan telepon di-reject. Pesan singkat juga tidak dibalas.

Sebelumnya, empat terpidana mati dieksekusi di Nusakambangan, yakni Freddy Budiman, Humprey, Michael Titus dan Seck Osmane. Keempatnya merupakan terpidana mati kasus narkotika.

Penanganan Bandar di Penjara Harus Distandarkan

Di bagian lain, nyanyian terpidana mati Freddy Budiman harus ditindaklanjuti sejumlah pihak. Termasuk Ditjen Pemasyarakatan yang memiliki kewenangan dalam penanganan pemidanaan. Perlu standar khusus dalam perlakuan para bandar narkoba di dalam penjara.

Central Detention for Studies atau CDS yang pernah membuat penelitian pengelolaan lapas dan rutan di Indonesia melihat ada ketidakseragaman perlakuan bandar narkoba di sejumlah lapas. Pengawasan terhadap bandar selama ini hanya tergantung dari masing-masing kepala lapas atau rutan.

''Kalau kepalanya tegas ya pengawasannya maksimal. Seperti Freddy yang sempat diawasi oleh CCTV khusus. Tapi di tempat lain tidak terjadi seperti itu,'' ujar Direktur CDS Gatot Goei.

Dia menyarankan Ditjen Pemasyarakat menerbitkan aturan untuk menyeragamkan aturan pembinaan bandar narkoba di dalam lapas. Selama ini hanya ada prosedur pemisahan bandar dengan napi lain. Namun pada praktiknya hal itu juga tidak berjalan karena keterbatasan sarana di lapas atau rutan.

''Nah mungkin dibuat aturan pengetatan lainnya yang tidak terkait sarana, misalnya pembatasan kunjungan,'' jelas Gatot.

Gatot melihat selama ini perlakukan terhadap bandar sama saja. Dengan status sebagai bandar dan masuk kategori risiko tinggi, maka harusnya ada pembatasan pihak yang berkunjung. Dalam berkunjung pun seharusnya dibatasi waktu dan tidak diperkenankan bersentuhan langsung.

''Mungkin perlu mencontoh apa yang diterapkan KPK untuk para tahanan korupsinya,'' terangnya.

Di KPK, tidak semua orang bisa bebas melakukan kunjungan, sekalipun keluarga. Mereka yang berkunjung harus didaftar dan mendapatkan pengesahan sebelummya dari KPK. Jika ada yang berkunjung dan namanya tidak ada dalam daftar bisa dipastikan ditolak.

Selama ini pihak lapas banyak belum menyadari bahwa kadang yang berkunjung ke bandar besar merupakan joki kunjungan. Mereka sebenarnya perantara antara bandar di dalam lapas dengan pihak-pihak luar. Oleh karena itu perlu ada pengawasan ketat terhadap pengunjung dari bandar besar maupun napi lain yang masuk kategori risiko tinggi.

''Kunjungan itu memang hak para napi tapi tidak boleh dianggap ringan. Sebab di sinilah titik singgung para bandar bisa mengendalikan bisnisnya di dalam lapas,'' jelasnya.

Gatot mengaku sebenarnya Freddy juga pernah mengungkapkan apa yang disampaikan pada KontraS ke dirinya. Hanya saja Gatot tidak bisa menindaklanjuti curhatan Freddy karena dia enggan menyebut nama-nama aparat yang terlibat dalam bisnis haramnya.

 Berkaca dalam kasus Freddy, pemerintah mestinya menindaklanjuti nyanyian Freddy dengan mengungkap fakta dari 58 terpidana mati kasus narkoba lainnya.

Tidak menutup kemungkinan mereka juga punya informasi yang sama seperti Freddy. ''Jangan-jangan kejahatan yang mereka lakukan juga melibatkan aparat,'' ujar Gatot.

Mengajak para pelaku kejahatan membongkar perkara yang lebih besar selama ini sangat dimungkinkan. Aturan hukum di Indonesia menganut apa yang dinamakan justice collaborator.**




Editor : TIS.RP
Kategori : Hukum
Untuk saran dan pemberian informasi kepada katariau.com, silakan kontak ke email: redaksi riaumadain.com
Komentar Anda
Berita Terkait
 
 
Copyrights © 2022 All Rights Reserved by Riaumadani.com
Scroll to top